Engkau tahu? Seandainya hati bisa dimanipulasi, mungkin aku bisa sekehendak sendiri mengatur segala rasa. Namun sayang, hati tak bisa dimanipulasi. Dan maafkan aku, jika tak bisa menyembunyikan setiap buncahan rasa yang pernah ada, hinggga begitu jelas kau melihatnya. Tapi sungguh, aku berupaya mengendalikan setiap yang ada dalam koridorNya. Tidak mudah memang, tapi bukan alasan untuk tidak melakukannya. Dan selamanya, mungkin akan begitu.
Ini sebuah fitrah, karena meski baru bertemu kembali, tapi kita pernah bersama dalam waktu yang cukup lama di masa belia. Maka wajar jika kemudian letupan-letupan keyakinan itu menggelembung terlalu besar, keyakinan tak kan ada aral melintang, dan tinggal selangkah lagi, maka takdir itu menjadi milik kita.
Tapi mungkin, tanpa disadari kita lupa, bahwa ada Sang Penentu Segalanya. Ketika kehendakNya meruntuhkan semua impian, meski kita bangun di atas namaNya. Inilah barangkali peringatan, agar tidak terlalu yakin dengan perkiraan sendiri.
Semoga saja, mampu menyentak kesadaran kita, bahwa IA yang Maha Pencemburu, tak selayaknya diduakan dan dinomorduakan. Barangkali, inilah yang terjadi selama ini, bahwa seolah-olah kita mengutamakanNya, tapi sejatinya kita sedang “membajak” namaNya.
Semoga Allah SWT mengampuni khilaf ini, mengampuni rasa sakit ini, mengampuni asa ini, mengampuni ketidakmampuan mengurai hikmah, hingga pernah tercetus tanya, “Mengapa, ya Allah, Engkau pertemukan kami kembali, jika hanya untuk menyesali pertemuan Ini? ”
Astaghfirullahal’adzim… betapa ternyata masih sangat kerdilnya diri ini, menghadapi peliknya kehidupan.
***
Kugemakan lagi kidung jiwa
Di sepertiga malamNya
Berpikir tentang seorang Rabi’ah Al-Adawiyah
Yang tak pernah tertarik pada Adam
Namun aku pengikut Muhammad
Yang ingin tetap berkiblat pada qudwahnya
Bahwa ia hidup layaknya manusia bumi
Oleh: Rifatul Farida
Sumber : Ketika Cinta Menyapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar