Senin, 11 Oktober 2010

Kisah Cinta Salman Al-Farisi

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yangdikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambiltempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuahpilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Danpilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempatkelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memilikiadat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Iaberfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yangpelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisiMadinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegakhati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya.Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasacukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjurutengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorangPersia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telahmemuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yangutama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampaibeliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakilisaudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih AbudDarda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua,shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga inibermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hakjawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberiisyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengansegala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyatasang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yangdatang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kamimenolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memilikiurusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah.Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itumengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satualasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta danpersaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk maluyang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memangbelum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar iabicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkanini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksipernikahan kalian!”???

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memilikiapapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadarantinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih,merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasadikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah,dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orangyang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yangkadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.


Sumber : Ketika Cinta Menyapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...