“Ukhti, wajahmu pucat sekali.” Ucap seorang sahabat suatu kali. Dan lagi, badanku panas, katanya. Oya? Aih, sudah berhari-hari seperti ini. Namun, diri ini terus saja mengingkari jika aku memang ‘sedang tidak sehat’. Sudah berapa bulan aku tidak menyambangi tempat praktek dokter ya? Tak tahu lah. Yang jelas, aku malas jika harus berjumpa stetoskop, diukur tensinya, apalagi disodori segepok pil aneka warna untuk ditelan sebanyak tiga kali dalam seharinya. Lebih baik aku memejamkan mata, melayangkan imajinasi ke tempat yang dipenuhi dengan bunga sakura (walah!), tertidur dengan sendirinya (setelah sebelumnya berucap doa), dan ketika terbangun aku mendapati diriku sudah sehat seperti sedia kala. Namun, ternyata… tidak seperti yang aku mau. Justru… badanku semakin remuk-redam keesokan harinya. Lemas, seperti orang kehilangan berliter darah. Makan tak nafsu, tidur tak nyenyak, belajar tak bergairah. Ditambah, sakit perut yang terus menggejala, lambung yang tidak beres… Oh, ada apa denganku, ya Rabb?
Kini, hanya bisa berbaring, menatap langit-langit kamar. Lantas, bayangan-banyangan itu berkecamuk, tergambar, bergonta-ganti seumpama slide yang diputar...
*
Usiaku merangkak menuju 20. Sudah bukan remaja lagi, tentunya. Dalam rentang waktu sepanjang itu, apa yang sudah aku lakukan? Apa yang sudah aku lakukan untuk orangtuaku? Untuk saudara-saudaraku? (kontribusi untuk saudara-saudara di tanah jihad Palestina… Ah, terbersit di pikiran saja aku tidak pernah. Betapa naïf…) Untuk teman-temanku? Untuk agamaku? Bahkan, untuk diriku sendiri? Apa saja yang sudah aku lakukan? Sudahkan aku memenuhi sabda Rasulullah tercinta, ‘manusia yang baik adalah yang memberi manfaat bagi manusia yang lain’? Oh, sungguh patutlah aku dianggap tidak bersyukur jika aku tidak memenuhinya. Bahkan, hamba-hamba-Mu yang cacat itu tekun berkarya dengan keterbatasan mereka. Mengapa aku yang dikaruniai kesempurnaan jiwa dan raga hanya berdiam saja?
Ya Rabb, sungguh sedikit amalku…
Ya Rabb, sungguh banyak dosaku…
Seperti apa kelak wajah ini di hadapan-Mu, ya Rabbi? Betapa malu hamba menghadap-Mu dengan amal yang sedikit ini…
Ah, hamba memang kepunyaan-Mu, ya Rabb. Engkau boleh mengambilku sesuka-Mu, kapan pun Engkau mau. Dengan cara apa pun itu…
Namun, sisi hatiku yang lain berontak. Janganlah Kau ambil nyawaku dulu, ya Rabb. Aku masih memiliki kedua orangtua yang aku harus berbakti kepadanya. Terlebih ummi, yang di telapak kakinya Kau janjikan surga. Jangan Kau ambil nyawaku dulu, ya Rabb. Aku masih belum menyempurnakan separuh din-Mu. Biarkan aku berbakti kepada imamku kelak, kunci surgaku yang kedua. Izinkan aku melahirkan anak-anak calon shalih dan shalihah, calon mujahid dan mujahidah, calon hafidz dan hafidzah. Sebagai ladang amal buatku jika kelak aku tiada.
*
Bibirnya tergetar, namun dipaksanya, meski terbata berkata-kata. Airmata merembes perlahan, kerudungnya basah. Aku tak kuasa lagi menatapnya. Hanya menunduk dalam, lantas ikutan-ikutan meneteskan airmata. Sahabatku tak kuasa lagi membacakan kisah itu, terlebih aku. Hening. Kami sesenggukan di atas lantai keramik yang dingin, suatu pagi di pojokan masjid kampus yang asri.
“Airmata ini tak sebanding dengan airmatanya untuk kita, ukhti…” ucapnya kemudian.
Di penghujung nafas terakhirnya, ia masih sempat menunjukkan cintanya, memanggil-manggil kita, umatnya. “Ya Allah, sungguh dahsyat maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.” Kemudian, ia berbisik kepada Ali dan berpesan, “Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antara kamu.”
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seribu tebasan pedang adalah lebih ringan daripada kematian di atas tempat tidur.” (HR Ali Bin Abi Thalib).
Insan terkasih itu merasakan sakit yang maha-dahsyat, bagaimanakah dengan hamba yang hanya manusia biasa?
Lihatlah, hamba sungguh manusia biasa. Hamba masih terbata mengeja ayat-ayat-Mu. Masih tertatih merangkak menuju cahaya-Mu. Masih berusaha memahami kalam cinta-Mu. Masih…
Kemudian, sketsa itu seolah ada di kedua lensaku…
Aku berada di tengah-tengah kerumun orang. Mereka bersimbah airmata. Doa-doa dilantunkan, yaasiiin dibacakan. Tak ada lagi jilbab putih yang anggun membingkai auratku. Yang ada justru… kafan putih menyelimuti tubuh yang sudah terbujur kaku. Kemudian, aku diangkat menuju suatu tempat. Di dalam lobang itulah aku diletakkan. Tubuhku dimiringkan, adzan dikumandangkan. Setelah itu, tanah-tanah itu mulai menimbunku. Hingga… permukaan tak terlihat lagi. Aku mendengar bunyi sandal mereka menjauh, semakin jauh. Aku ditinggal sendiri di sini. Dilupakan perlahan-lahan. Semuanya hilang tak berbekas. Tiada lagi alasan untuk berbangga hati atas prestasi, piagam, tropi, atau medali… Siapakah yang akan menemaniku nanti? Seseorang yang datang dengan wajah berseri-seri, ataukah… wajah buruk-beraroma busuk?
Tidak! Tidak, ya Allah…
Aku takut, ya Rabb. Jika menjelang ajalku, aku tak lagi memegang teguh iman Islam dalam jiwaku. Aku meragu, ya Rabb. Jika bibir ini sulit berucap syahadat di penghujung nafas terakhirku. Aku berharap, Ya Rabb. Engkau akan mengundangku dengan kalimat mesra-Mu, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”
Kau hadirkan aku ke dunia dalam keadaan fitrah, maka aku meminta kematian yang suci pula, ya Rabb. Ingin aku menghadap-Mu ketika kening ini menyentuh sajadah, dengan air wudhu yang masih menetes. Bercampur dengan airmataku. Airmata rindu perjumpaan dengan-Mu…
Senyuman tersungging di bibirku
Wangi kesturi menguar dariku
Engkau dalam pikiranku
Quran di lidahku
As-sunnah di hatiku
Sejuta malaikat menyambut
Al-jannah terbuka untukku
Jadikan aku satu
Dari para bidadari syurga-Mu
Aih, indahnya kematian itu…
Maka ya Allah, jadikanlah cintaku kepada-Mu sebagai satu-satunya cinta yang mengantarku menutup mata. Maka ya Allah, jadikanlah rinduku kepada Rasul-Mu sebagai satu-satunya rindu yang bergelora dalam jiwa hingga diputuskan nyawa. Maka ya Allah, dengan penuh damba dan cinta, kabulkanlah...
Entah besok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau nanti.. setelah ini. Ia ada di depanku. Menghadang. Satu depa, satu jengkal, atau sepersekian millimeter dariku. Ia ada. Mengintai. Maka, bersiaplah! Bersiagalah!
Ketika kurasakan ia semakin dekat… MAUT!
Biarkan aku mengadu, wahai Rabb-ku
Meski kelu bibirku
Telah payah hamba
Menjejak di gersang dunia
Menapak jalan semu dan fana
Beribu juta laksa coba mendera
Entah… telah lelah langkah
Kucoba meghapus sisa putus asa itu
Berseru:
“Mengapa perjuangan itu pahit?”
“Karena… surga itu manis.”
Aku:
Setitik yang kecil
Sedzarrah yang kerdil
Mengaduh dalam semesta keluh
Berharap menemukan cinta-Mu
Di labirin sunyi kalbuku
Terprasasti
Di sini aku masih mendaki
Mendaki rinduku
Mendaki cintaku
Ke haribaan-Mu
Sumber : •٠·˙ Di Atas Sajadah Cinta ˙·٠• (http://situseni.com/index.php/soliloqui/240-ketika-kurasakan-ia-semakin-)
Jd trharu bca artikelnya :') smoga kita dprtemukan dgn akhr khidupan yang baik..amiin ya rabbal alamiin
BalasHapusamin ya rabbal alamin...
BalasHapus